Mantan Dirjen AHU Digugat! Diduga Pakai Notula Fiktif, Hidup Maruli Terlantar

Jakarta, MetroKitanews.com, 01 Oktober 2025 – Dunia hukum kembali diguncang dengan kasus mengejutkan. Mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM, Cahyo Rahadian Muzhar, digugat karena diduga menggunakan Notula Fiktif sebagai alat bukti dalam persidangan.

Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 125/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Utr di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sidang yang digelar pada Senin, 29 September 2025 menghadirkan fakta yang menohok publik: penggunaan notula yang diduga palsu telah membuat seorang warga, Maruli Sembiring, SH, kehilangan pekerjaan dan kehidupannya.

Dalam sidang, dua saksi kunci dari pihak penggugat, yakni Dr. Ir. Ahmad Rofi’i, M.T. dan Bambang Prabowo, SH, memberikan keterangan tegas bahwa penggugat adalah satu-satunya “Maruli” yang dimaksud dalam dokumen resmi.

Ahmad Rofi’i menuturkan, ia mengenal langsung Maruli sejak masa orientasi mahasiswa di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, ketika Maruli aktif di Resimen Mahasiswa (Menwa). Bambang Prabowo menambahkan, ia memiliki interaksi erat dengan Maruli hingga kegiatan alumni, termasuk Musyawarah Besar Ikatan Alumni tahun 2018.

“Tidak ada Maruli lain. Maruli itu ya Maruli Sembiring,” tegas keduanya di hadapan majelis hakim.

Gugatan Maruli berawal dari Notula Rapat tertanggal 16 September 2019, yang disusun ketika Cahyo masih menjabat Dirjen AHU. Dokumen itu kemudian dipakai Kementerian Hukum dan HAM (Tergugat II) dalam perkara di PTUN, hingga berujung pada penonaktifan Maruli dari jabatannya di Yayasan Perguruan Tinggi 17 Agustus 1945 Jakarta sejak 3 Juni 2024.

Bagi Maruli, dampaknya bukan sekadar administratif. “Cahyo dengan notula fiktif itu bukan hanya menyingkirkan saya dari organisasi, tapi mematikan mata pencaharian saya. Itu kejam, itu zalim, dan melampaui batas kewenangan seorang pejabat negara,” ungkap kuasa hukum penggugat membacakan sikap kliennya di persidangan.

Dalam gugatannya, Maruli menuntut ganti rugi materil sebesar Rp127.405.020 atas kehilangan gaji, tunjangan, dan hak kepegawaian. Selain itu, ia juga meminta ganti rugi immateril Rp5 miliar atas penderitaan dan tercorengnya nama baik.

Tak hanya itu, Maruli juga menuntut agar hakim menjatuhkan dwangsom senilai Rp100 juta per hari apabila tergugat mangkir dari kewajiban menjalankan putusan.

Sebelumnya, somasi telah dilayangkan pada 17 dan 25 Juli 2024, namun tidak ada solusi dari pihak tergugat. Diamnya KemenkumHAM dianggap sebagai pembiaran atas dugaan penyalahgunaan wewenang.

Kesaksian dua saksi penggugat menutup rapat dalih soal “identitas ganda”. Identitas Maruli jelas, otentik, dan tidak bisa dipalsukan. Jika terbukti benar, perkara ini bukan hanya persoalan perdata, melainkan bisa menyeret pejabat publik ke ranah pidana atas dugaan pemalsuan dokumen negara dan penyalahgunaan wewenang.

Sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan menghadirkan saksi dari Turut Tergugat, yakni YPT 17 Agustus 1945 Jakarta. Publik kini menanti: apakah pengadilan berani menindak tegas pejabat negara yang diduga menandatangani “kematian profesi” seorang warga sipil hanya lewat sebuah notula fiktif.

Selain digugat secara perdata, penggunaan notula rapat yang diduga palsu tersebut juga telah dilaporkan ke pihak kepolisian atas dugaan tindak pidana pemalsuan.

Kasus ini membuka mata publik bahwa selembar notula rapat bisa menjadi senjata yang meruntuhkan karier bahkan kehidupan seseorang. Pertanyaan besarnya kini: akankah hukum berdiri tegak membongkar praktik kecurangan, atau justru tunduk pada kekuasaan?

metrokitanews.com | Patar P

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *