Skandal Wamenaker Noel Jadi Sorotan, Fredi Moses : Fenomena Rangkap Jabatan Menteri-Wamen Kian Disorot Publik

Gambar : Fredi Moses saat sedang menyampaikan pendapat dalam suatu acara di jakarta

Jakarta, Metrokitanews.com, 24 Agustus 2025 – Pasca penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Imanuel Ebenezer alias Noel terkait kasus sertifikasi K3, publik kini menyoroti masalah lain yang tak kalah serius: praktik rangkap jabatan di kabinet Presiden Prabowo Subianto.

Tercatat, ada dua menteri dan 33 wakil menteri yang merangkap jabatan di pemerintahan. Kondisi ini dinilai mencerminkan wajah feodalisme birokrasi modern yang justru menindas rakyat kecil.

Pengamat politik dan hukum, Fredi Moses Ulemlem, menegaskan bahwa kasus Noel hanyalah bagian kecil dari persoalan besar dalam birokrasi Indonesia.

“Rakyat sudah geram. Noel itu cuma tumbal. Di baliknya, ada budaya feodalisme dan kekuasaan yang menindas wong cilik,” tegas Fredi Minggu (24/8).

Ia menambahkan, rangkap jabatan yang dilakukan pejabat publik bukan hanya melanggar etika, tetapi juga berpotensi melanggar hukum. Menurut Fredi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara tegas melarang pejabat mengambil keputusan yang sarat konflik kepentingan.

“Kalau rangkap jabatan itu terbukti menghasilkan keuntungan pribadi, maka bisa dikategorikan tindak pidana korupsi,” jelasnya.

Lebih jauh, Fredi menyoroti kewajiban pejabat negara dalam melaporkan kekayaan melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, setiap pejabat wajib jujur dan terbuka melaporkan hartanya. Bila tidak, maka bisa dijerat dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

“Ini bukan sekadar formalitas. Kalau ada pejabat yang tidak melaporkan LHKPN atau bahkan menyembunyikan hartanya, itu bisa dianggap gratifikasi terselubung. Artinya bisa kena pasal korupsi, ancamannya penjara dan denda,” tegas Fredi.

Selain aparat penegak hukum, Fredi juga mendesak Komisi Informasi Publik (KIP) untuk bertindak.

Menurutnya, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan hak rakyat untuk mengetahui penyelenggaraan negara, termasuk LHKPN pejabat publik.

“Transparansi itu hak rakyat. KIP jangan hanya jadi stempel. Publikasikan pejabat mana saja yang rangkap jabatan dan bagaimana kekayaannya bertambah. Kalau diam saja, KIP bisa dianggap ikut melanggengkan feodalisme birokrasi,” ungkap Fredi.

Fredi menilai kasus Noel bukanlah masalah personal semata, tetapi akibat dari sistem birokrasi yang membuat pejabat merasa kebal hukum.

“Rakyat sudah jenuh. Wong cilik tidak butuh jargon, tidak butuh omon-omon. Mereka butuh keadilan yang nyata,” ujarnya.

Ia pun mengingatkan bahwa fenomena rangkap jabatan dua menteri dan puluhan wakil menteri adalah bukti nyata ketidakadilan birokrasi. Segelintir elite menguasai banyak kursi, sementara rakyat kecil tetap terpinggirkan.

Di akhir pernyataannya, Fredi mengutip pesan Presiden pertama RI, Bung Karno: “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Revolusi belum selesai!”

Menurutnya, pemeriksaan LHKPN, penegakan UU Antikorupsi, dan keterbukaan informasi publik harus menjadi langkah awal untuk membuktikan apakah pemerintahan Presiden Prabowo benar-benar berpihak pada rakyat, atau justru tunduk pada kepentingan segelintir elite birokrasi.

Metrokitanews | Franky S Manuputty

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *